Selasa, 15 Desember 2015

Obat Anti Malaria


obat malaria terdiri dari 5 jenis
  1. Skizontizid jaringan primer yang membasmi parasit praeritrosit: proguanil, pirimetamin
  2. Skizontizid jaringan sekunder yang membasmi parasit eksoeritrosit: primakuin
  3. Skizontizid darah yang membasmi parasit fase eritrosit: kina, klorokuin, amodiakuin
  4. Gametosid yang menghancurkan bentuk seksual. Primakuin adalah gametosid yang ampuh bagi keempat spesies. Gametosid untuk P.vivax, P.malariae, P.ovale adalah kina, klorokuin, dan amodiakuin
  5. Sporontosid mencegah gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk anopheles: proguanil, primakuin.
Penggunaan pencegahan (profilaksis) bertujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya gejala klinis. Penyembuhan dengan pemberian terapi jenis ini pada infeksi malaria oleh P. falciparum karena parasit ini tidak mempunyai fase eksoreritrosit
Pengobatan kuratif dapat dilakukan dengan obat malaria jenis skizontizid
Pencegahan transmisi bermanfaat untuk mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi sporogonik nyamuk. Obat yang dapat digunakan jenis gametosid atau sporontosid
Plasmodium Vivax
  1. Prinsip dasar pengobatan malaria vivaks adalah pengobatan radikal yang ditujukan pada stadium hipnozoit di sel hati dan di eritrosit
  2. Tahun 1989, P. vivax resisten klorokuin. Sehingga dipakai pengobatan klorokuin selama 3 hari dilakukan bersamaan dengan primakuin selama 14 hari. Dengan cara ini, primakuin bersifat sebagai skizontizid darah selain membunuh hipnozoit dalam hati. Jika dengan pengobatan promakuin masih belum terjadi relaps, bisa ditambahkan dosis primakuin sampai 30 mg/hari
  3. Obat alternatif lain: artesunat-amodiakuin, dihidroartemisinin-piperakuin, atau non-altemisin (meflokuin, atovaquone-proguanil)
Plasmodium Falciparum
  1. P. falciparum resisten pada golongan aminokuinolon (klorokuin, amodiakuin).
  2. Tanpa komplikasi, bisa diberikan drug of choice kombinasi artemisin (artesunat-amodiakuin) selama 3 hari.
  3. Kombinasi artemisin lainnya adalah artemeter-lumefantrin dan dihidroartemisinin-piperakuin. Bila terjadi kegagalan dapat diberikan kombinasi kina dan doksisiklin
  4. Pada malaria berat, dapat diberikan suntikan sodium artesunat (im, iv) atau artemeter (im). Pengobatan dengan kombinasi kina-doksisiklin dapat dipertimbangkan bila dikuatirkan terjadi rekrudesensi
  5. Golongan Artemisin : Artemeter dan Artesunat
    Plasmodium malariae
  6. Dapat diobati dengan klorokuin basa selama 5 hari dengan dosis total 35 mg/kgBB, meskipun begitu, P. malariae dilaporkan sudah resisten terhadap klorokuin
  7. Pengobatan lain, P. malariae sensitif terhadap artemisinin dan pinoranidin
Plasmodium Ovale
  1. Merupakan penyakit ringan dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

golongan obat hipertensi 

 

 

           Diuretik
Mekanisme kerja: menghambat absorbsi garam dan air sehingga volume darah dapat menurun akibatnya tekanan darah ikut turun.
Diuretik ini dibagi menjadi 3 tebagi menjadi 3 yaitu:
-       Golongan thiazid yang bekerja pada tubulus distal dengan kerja meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl-. Contoh: HCT dan indapamid
-       Golongan diuretik kuat yang bekerja di ansa henle bagian assendens dengan kerja menghambat kotranspor Na+, K+, Cl-, dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Contoh: furosemid, torasemid, asam etakrinat dan bumetamid.
-       Golongan diuretik hemat kalium, contohnya : triamteren, amilorid, dan spironolakton.

Golongan ‘ACE-Inhibitor’

Yaitu 'Angiotensin-Converting Enzyme' (ACE) Inhibitor. Obat ini mencegah 'konstriksi' (pengkerutan) pembuluh darah akibat formasi hormon 'angiotensin II' dengan cara memblokade enzim ACE, mencegah pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II.
Contoh obat golongan ini : Kaptopril.

Golongan ‘Angiotensin-II Receptor Blockers’

Obat ini akan secara langsung memblokade aksi hormon angiotensin II. Obat ini dapat digunakan bila penggunaan ACE inhibitor menimbulkan keluhan / efek samping.
Contoh obat golongan ini : Valsartan, Telmisartan, Olmesartan.

Golongan ‘Beta Blocker’ (Penyekat Beta)

Obat golongan ini memblokade aksi 'adrenalin' pada sistem saraf otonom, sehingga menurunkan frekuensi jantung (heart's rate) dan curah jantung (heart's output). Golongan 'beta blocker' juga akan mengurangi beban jantung.
Contoh obat golongan ini : Propanolol, Atenolol.

Golongan ‘Calcium Channel Blocker’

Obat ini melebarkan pembuluh darah sehingga tekanan kapiler menurun. Obat ini mencegah masuknya 'Calsium' ke jaringan melalui 'Calcium Channel' sehingga akan me'relaksasi' (mengendurkan) dinding pembuluh darah arteri dan menurunkan kontraksi jantung.
Contoh obat golongan ini : Verapamil, Diltiazem, Nifedipine.

Golongan ‘Direct Renin Inhibitor’ (DRI)

Obat golongan ini merupakan OBAT ANTI HIPERTENSI terbaru, memiliki efek menghambat hormon renin dari ginjal.
Contoh obat golongan ini: Aliskiren.

Minggu, 13 Desember 2015

Penggolongan Antibiotik

Antibiotik 


Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang dihasilkan oleh mikroorganisme bakteri ataupun jamur. Pada dasarnya tujuan utama penggunaan antibiotik untuk meniadakan infeksi, namun semakin luasnya penggunaan antibiotik sekarang ini justru semakin meluas pula timbulnya infeksi baru akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional.
Penggolongan Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja :
  •  Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin
  •  Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone,
  • Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline
  • Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycinvalinomycin;
  • Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,

Penggolongan Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia :
  • Aminoglikosida Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.
  • Beta-Laktam Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).
  • Glikopeptida Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
  • Polipeptida Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
  • Polimiksin Diantaranya polimiksin dan kolistin.
  • Kinolon (fluorokinolon) Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.
  • Streptogramin Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin.
  • Oksazolidinon Diantaranya linezolid dan AZD2563.
  • Sulfonamida Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
  • Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat
Penggolongan Berdasarkan Spektrum Kerjanya

Spektrum luas (aktivitas luas) : Antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
 Spektrum sempit (aktivitas sempit) : Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba saja, bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin, klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.

Penggolongan Berdasarkan Bakteri Penyebab Penyakit :

Golongan Penisilin
      Dihasilkan oleh fungi Penicillinum chrysognum. Aktif terutama pada bakteri gram (+) dan beberapa gram (-). Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran napas bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, untuk infeksi telinga, bronchitis kronik, pneumonia, saluran kemih (kandung kemih dan ginjal).
      Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Ampisilin dan Amoksisilin. Untuk meningkatkan ketahanan thp b-laktamase : penambahan senyawa untuk memblokir & menginaktivasi b-laktamase. Misalnya Amoksisilin + asam klavulanat, Ampisilin + sulbaktam, Piperasilin + tazobaktam.
      Efek samping : reaksi alergi, syok anafilaksis, kematian,Gangguan lambung & usus. Pada dosis amat tinggi dapat menimbulkan reaksi nefrotoksik dan neurotoksik. Aman bagi wanita hamil & menyusui

Golongan Sefalosporin
      Dihasilkan oleh jamur Cephalosporium acremonium. Spektrum kerjanya luas meliputi bakteri gram positif dan negatif. Obat golongan ini barkaitan dengan penisilin dan digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernafasan bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, pneumonia, infeksi telinga, kulit dan jaringan lunak, tulang, dan saluran kemih (kandung kemih dan ginjal).
      contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Sefradin, Sefaklor, Sefadroksil, Sefaleksin, E.coli, Klebsiella dan Proteus.
Penggolongan sefalosporin berdasarkan aktivitas & resistensinya terhadap b-laktamase:

 Generasi I : aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan pada b laktamase. Misalnya sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Digunakan secara oral pada infeksi saluran kemih ringan, infeksi saluran pernafasan yang tidak serius
 Generasi II : lebih aktif terhadap kuman gram negatif. Lebih kuat terhadap blaktamase. Misalnya sefaklor, sefamandol, sefmetazol,sefuroksim
 Generasi III : lebih aktif terhadap bakteri gram negatif , meliputi Pseudomonas aeruginosa dan bacteroides. Misalnya sefoperazone, sefotaksim, seftizoksim, sefotiam, sefiksim.Digunakan secara parenteral,pilihan pertama untuk sifilis
 Generasi IV : Sangat resisten terhadap laktamase. Misalnya sefpirome dan sefepim
Golongan Lincosamides
Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis dan bersifat bakteriostatis. Obat golongan ini dicadangkan untuk mengobati infeksi berbahaya pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pada kasus yang tidak sesuai diobati dengan penisilin. Spektrum kerjanya lebih sempit dari makrolida, terutama terhadap gram positif dan anaerob. Penggunaannya aktif terhadap Propionibacter acnes sehingga digunakan secara topikal pada acne.
Contoh obatnya yaitu Clindamycin (klindamisin) dan Linkomycin (linkomisin).
Golongan Tetracycline
Diperoleh dari Streptomyces aureofaciens & Streptomyces rimosus. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi jenis yang sama seperti yang diobati penisilin dan juga untuk infeksi lainnya seperti kolera, demam berbintik Rocky Mountain, syanker, konjungtivitis mata, dan amubiasis intestinal. Dokter ahli kulit menggunakannya pula untuk mengobati beberapa jenis jerawat.
Adapun contoh obatnya yaitu : Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin.
Khasiatnya bersifat bakteriostatik , pada pemberian iv dapat dicapai kadar plasma yang bersifat bakterisid lemah.Mekanisme kerjanya mengganggu sintesis protein kuman Spektrum kerjanya luas kecuali thp Psudomonas & Proteus. Juga aktif terhadap Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata), leptospirae, beberapa protozoa. Penggunaannya yaitu infeksi saluran nafas, paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata. Namun dibatasi karena resistensinya dan efek sampingnya selama kehamilan & pada anak kecil.
Golongan Kloramfenikol
Bersifat bakteriostatik terhadap Enterobacter & S. aureus berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Bersifat bakterisid terhadap S. pneumoniae, N. meningitidis & H. influenza. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi yang berbahaya yang tidak efektif bila diobati dengan antibiotik  yang kurang efektif. Penggunaannya secara oral, sejak thn 1970-an dilarang di negara barat karena menyebabkan anemia aplastis. Sehingga hanya dianjurkan pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H. influenzae). Juga digunakan sebagai salep 3% tetes/salep mata 0,25-1%. Contoh obatnya adalah Kloramfenikol, Turunannya yaitu tiamfenikol.
Golongan Makrolida
Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya yaitu pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh serdadu sewaan). Sering pula digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.Contoh obatnya : eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin, diritromisin serta spiramisin.
Golongan Kuinolon
Berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, dgn menghambat enzim DNA gyrase bakteri sehingga menghambat sintesa DNA. Digunakan untuk mengobati sinusitis akut, infeksi saluran pernafasan bagian bawah serta pneumonia nosokomial, infeksi kulit dan jaringan kulit, infeksi tulang sendi, infeksi saluran kencing, Cystitis uncomplicated akut, prostates bacterial kronik, infeksi intra abdominal complicated, demam tifoid, penyakit menular seksual, serta efektif untuk mengobati Anthrax inhalational.
Penggolongan :
Generasi I : asam nalidiksat dan pipemidat digunakan pada ISK tanpa komplikasi
Generasi II : senyawa fluorkuinolon misal siprofloksasin, norfloksasin, pefloksasin,ofloksasin. Spektrum kerja lebih luas, dan dapat digunakan untuk infeksi sistemik lain.
Zat-zat long acting : misal sparfloksasin, trovafloksasin dan grepafloksasin.Spektrum kerja sangat luas dan meliputi gram positif.
Aminoglikosida
Dihasilkan oleh fungi Streptomyces & micromonospora.Mekanisme kerjanya : bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel.
Contoh obatnya : streptomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin
Penggunaan Aminoglikosida Streptomisin & kanamisin Þ injeksi pada TBC juga pada endocarditis,Gentamisin, amikasin bersama dengan penisilin pada infeksi dengan Pseudomonas,Gentamisin, tobramisin, neomisin juga sering diberikan secara topikal sebagai salep atau tetes mata/telinga,Efek samping : kerusakan pada organ pendengar dan keseimbangan serta nefrotoksik.
Monobaktam
Dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum Bersifat bakterisid, dengan mekanisme yang sama dengan gol. b-laktam lainnya.Bekerja khusus pada kuman gram negatif aerob misal Pseudomonas, H.influenza yang resisten terhadap penisilinase Contoh : aztreonam
Sulfonamide
Merupakan antibiotika spektrum luas terhadap bakteri gram positrif dan negatif. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja : mencegah sintesis asam folat dalam bakteri yang dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA bakteri.Kombinasi sulfonamida : trisulfa (sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dengan perbandingan sama),Kotrimoksazol (sulfametoksazol + trimetoprim dengan perbandingan 5:1),Sulfadoksin + pirimetamin.
Penggunaan:
Infeksi saluran kemih : kotrimoksazol
Infeksi mata : sulfasetamid
Radang usus : sulfasalazin
Malaria tropikana : fansidar.
Mencegah infeksi pada luka bakar : silver sulfadiazine.
Tifus : kotrimoksazol.
Radang paru-paru pada pasien AIDS : kotrimoxazol
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan teruama trimeseter akhir : icterus, hiperbilirubinemia
Vankomisin
Dihasikan oleh Streptomyces orientalis.Bersifat bakterisid thp kuman gram positif aerob dan anaerob.Merupakan antibiotik terakhir jika obat-obat lain tidak ampuh lagi
Penggunaan Antibiotik kombinasi :
Pada infeksi campuran, misalnya kombinasi obat-obat antikuman dan antifungi atau, dua antibiotik dengan spektrum sempit (gram positif + gram negatif) untuk memperluas aktifitas terapi : Basitrasin dan polimiksin dalam sediaan topikal.
Untuk memperoleh potensial, misalnya sulfametoksazol dengan trimetoprim (= kotrimoksazol) dan sefsulodin dengan gentamisin pada infeksi pseudomonas. Multi drug therapy (AZT + 3TC + ritonavir ) terhadap AIDS juga menghasilkan efek sangat baik.
Untuk mengatasi resistensi, misalnya Amoksisilin + asam klavulanat yang menginaktivir enzim penisilinase.
Untuk menghambat resistensi, khususnya pada infeksi menahun seperti tuberkulosa (rifampisin + INH + pirazinamida ) dan kusta (dapson + klofazimin dan /atau rifampisin).
Untuk mengurangi toksisitas, misalnya trisulfa dan sitostatika, karena dosis masing-masing komponen dapat dikurangi.

Jumat, 11 Desember 2015

ebook ACE Inhibitor

Share 1454.full.pdf - 259 KB

ACE Inhibitor

ACE-Inhibitors
Definisi Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE-Inhibitors) atau Penghambat Enzim Konversi Angiotensin adalah golongan obat yang bekerja dengan cara menghambat kerja enzim konversi angiotensin (ACE) secara kompetitif SeputarJantung.com 2
Enzim Konversi Angiotensin Enzim konversi angiotensin (ACE) adalah suatu enzim non-spesifik yang bekerja mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II Enzim konversi angiotensin (ACE) adalah bagian dari sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron yang melibatkan ginjal, hepar, dan kelenjar adrenal SeputarJantung.com 3
ACE Pembuluh darah Angiotensinogen Angiotensin I Angiotensin II Aldosteron Renin Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron 4
ACE Pembuluh darah Angiotensinogen Angiotensin I Angiotensin II Aldosteron Renin Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron ACE-I 5
Angiotensin II Organ target Efek angiotensin II Pembuluh darah Vasokonstriksi Merangsang pelepasan noradrenalin, aldosteron, vasopresin dan endotelin-1 Jantung Efek inotropik dan kronotropik Vasokonstriksi arteri koroner Kelenjar adrenal Pelepasan aldosteron dan adrenalin Otak Pelepasan vasopresin Pelepasan substansi P, LHRH dan ACTH Perangsangan pusat rasa haus Meningkatkan aktivasi simpatis Ginjal Vasokonstriksi (arteriol eferen > aferen) Kontraksi sel-sel mesangial Meningkatkan reabsorpsi Na di tubulus proksimalis Meningkatkan ekskresi K di nefron distal Menurunkan pelepasan renin 6
Angiotensin II Organ target Efek Angiotensin II Trombosit Merangsang adhesi dan agregasi trombosit Sel-sel endotelium Inaktivasi nitrit oksida (menghambat endothelial nitric oxyde synthase) Ekspresi endothelial oxLDL receptor (LOX-1) Kelenjar adrenal Pelepasan aldosteron dan adrenalin Pelepasan simpatis Meningkatkan neurotransmisi noradrenergik perifer Pelepasan katekolamin dari medula adrenalis Fibrinolisis Meningkatkan ekspresi PAI-1 dan 2 Inflamasi Aktivasi dan migrasi makrofag Meningkatkan ekspresi molekul-molekul adhesi (VCAM-1, ICAM-1, P-Selectin), protein kemotaktik (MCP-1) dan sitokin (IL-6) Efek trofik Hipertrofi sel-sel miosit kardiak Aterosklerosis Perangsangan aktivitas NADH/NADPH oksidase 7
Angiotensin II • Secara ringkas efek angiotensin II adalah: • Vasokonstriksi, baik pembuluh perifer maupun koroner • Inotropik dan kronotropik positif • Meningkatkan pelepasan hormon-hormon simpatis dan aldosteron • Meningkatkan adhesi dan agregasi trombosit • Merangsang hipertrofi ventrikel • Meningkatkan proses inflamasi SeputarJantung.com 8
Laju filtrasi glomerulus turun Proteinuria meningkat Pelepasan aldosteron meningkat Sklerosis glomerulus Angiotensin II Aterosklerosis Vasokonstriksi Hipertrofi vaskular Disfungsi endotel Hipertrofi ventrikel kiri Fibrosis Remodelling Apoptosis Stroke Kematian Hipertensi Gagal Jantung PJK Renal failure Otak Pembuluh darah Jantung Ginjal Efek Angiotensin II 9
Klasifikasi ACE-Inhibitors • ACE-Inhibitors dibagi 3 kelompok berdasarkan kandungan gugus yang berikatan dengan atom Zn dalam molekul obat. Tiga macam kandungan gugus tersebut adalah: • Sulfhydryl • Carboxyl • Phosphoryl SeputarJantung.com 10
Klasifikasi ACE-Inhibitors Obat Waktu paruh (jam) Eliminasi di ginjal (%) Dosis standar (mg) Dosis (mg) pada gagal ginjal (CrCl 10-30 cc/mnt) Sulfhydryl • Benazepril* 11 85 2.5-20 bid 2.5-10 bid • Captopril 2 90 25-100 tid 6.25-12.5 tid Carboxyl • Enalapril* 11 88 2.5-20 bid 2.5-20 bid • Lisinopril* 12 70 2.5-10/hari 2.5-5/hari • Perindopril* >24 75 4-8/hari 2/hari • Quinapril* 2-4 75 10-40/hari 2.5-5/hari • Ramipril* 8-14 85 2.5-10/hari 1.25-5/hari • Trandolapril 16-24 15** 1-4/hari 0.5-1/hari Phosphoryl • Fosinopril 12 50** 10-40/hari 10-40/hari 11
    Mekanisme kerja ACE-I • ACE-Inhibitors menurunkan: • Kadar angiotensin II baik lokal maupun dalam sirkulasi • Sekresi aldosteron • Sekresi vasopresin • Aktivitas saraf simpatis • Efek trofik angiotensin II • Menghambat kininase II  meningkatkan kadar bradikinin  merangsang reseptor B2  pelepasan nitrit oksida (NO), prostasiklin dan prostaglandin E2 • Tetapi, ACE-Inhibitors tidak menghambat kerja angiotensin II yang diaktivasi melalui reseptor AT1 dan AT2, dan juga tidak secara langsung berinteraksi dengan komponen sistem renin- angiotensin lainnya 12
    Efek ACE-Inhibitors • Hemodinamik: • Vasodilatasi baik arteri maupun vena • Sangat sedikit mempengaruhi laju jantung (tidak ada refleks takikardi akibat obat ini) • Meningkatkan relaksasi dan distensibilitas jantung • Neurohormonal: • Meningkatnya kadar agen-agen vasodilator: • Bradikinin • Prostaglandin • Nitric oxyde • Menurunnya agen-agen vasokonstriktor: • Angiotensin II • Noradrenalin • Adrenalin • Vasopresin 13
    Efek ACE-Inhibitors • Anti-proliferasi: • Mengurangi hipertrofi jantung • Mengurangi hipertrofi pembuluh darah • Mengurangi remodelling jantung setelah infark miokard • Ginjal: • Menurunkan resistensi vaskular ginjal • Meningkatkan aliran darah ke ginjal • Meningkatkan ekskresi air dan natrium • Mencegah progresi mikroalbuminuria menjadi proteinuria yang nyata • Lain-lain: • Menurunkan agregasi trombosit dan meningkatkan kemampuan fibrinolisis • Memperlambat proses aterosklerosis 14
    Efek samping ACE-Inhibitors • Hipotensi • Batuk kering: • Karena peningkatan kadar bradikinin • Insiden 5-10% • Merupakan efek sampaing yang paling sering menyebabkan penghentian penggunaan ACE-Inhibitors • Hiperkalemia • Gagal ginjal akut • Proteinuria • Angioedema: • Sangat jarang tapi bisa fatal. Paling sering pada bulan pertama pemakaian • Efek teratogenik 15
    Mekanisme terjadinya batuk Angiotensinogen (produksi di hepar) Renin (produksi di ginjal) Angiotensin I Bradikinin ACE Angiotensin II Produk inaktif Reseptor AT II 16
    Mekanisme terjadinya batuk Angiotensinogen (produksi di hepar) Renin (produksi di ginjal) Angiotensin I Bradikinin ACE Angiotensin II Produk inaktif Reseptor AT II ACE-Inhibitors Batuk 17
      Kontra-indikasi • Absolut: • Riwayat edema angioneurotik • Stenosis arteri renalis bilateral • Kehamilan • Penggunaan ACE-I harus distop bila setelah penggunaan: • Tekanan darah sistolik turun < 90 mm Hg • Kalium meningkat > 6 mmol/l • Kreatinin meningkat 50%, atau > 3 mg/dl • Resiko hipotensi dan gagal ginjal pada penggunaan ACE-I meningkat bila: • Penggunaan dosis besar ACE-I • Usia lanjut • Gagal jantung berat • Penggunaan bersamaan dengan diuretik 18
        Interaksi obat • Obat yang menurunkan efektivitas ACE-I: • Antasida • Anti inflamasi non-steroid • Obat yang meningkatkan efek vasodilatasi ACE-I: • Diuretik • Obat yang meningkatkan kadar kalium: • Diuretik hemat kalium • Suplementasi kalium • ACE-I meningkatkan kadar digoksin plasma 19
          Penggunaan klinis • Gagal jantung: • ACE-I merupakan terapi lini pertama pasien gagal jantung dengan ejection fraction (EF) < 40 -45%, dengan atau tanpa gejala gagal jantung, bila tidak ada kontra indikasi • Manfaat ACE-I pada gagal jantung meliputi: meningkatkan harapan hidup, menurunkan angka hospitalisasi, memperbaiki kualitas hidup pada pasien gagal jantung dengan atau tanpa diabetes • Dosis ACE-I pada gagal jantung bukan tergantung gejala, tapi harus dititrasi sampai dosis maksimum sesuai dengan dosis yang digunakan dalam studi-studi • Mulai dengan dosis kecil, gandakan dosis setiap 2 minggu sampai dosis maksimal (sesuai studi terkait) atau sesuai toleransi pasien 20
          Penggunaan klinis • Pasca infark miokard akut: • ACE-I direkomendasikan diberikan pada pasien pasca infark miokard akut dengan: • Gagal jantung, • Disfungsi ventrikel kiri tanpa gejala (EF < 45%) • Infark anterior luas • Tidak mendapat terapi reperfusi • Dengan diabetes • Manfaat pemberian ACE-I pada pasien pasca infark miokard akut: • Menurunkan angka kematian • Mengurangi remodelling jantung • Mencegah kematian jantung mendadak 21
          Penggunaan klinis • Hipertensi: • Menurunkan tekanan darah • Mencegah kerusakan organ target pada: • Gagal jantung • Disfungsi ventrikel kiri • Riwayat infark miokard atau stroke • Diabetes • Resiko tinggi penyakit jantung koroner • Terapi tunggal • Terapi kombinasi bila tekanan darah belum terkontrol: • Kombinasi yang direkomendasi adalah dengan diuretik atau antagonis kalsium • Jangan kombinasi dengan angiotensin receptor blockers (ARB) 22
          ACE-Inhibitors adalah golongan obat yang bekerja menghambat kerja enzim konversi angiotensin (ACE) secara kompetitif • Efek ACE-Inhibitors terutama adalah vasodilatasi pembuluh darah • Indikasi utama ACE-Inhibitors adalah hipertensi, gagal jantung dan pasca infark miokard akut • Efek samping ACE-Inhibitors tersering adalah batuk • Kontra-indikasi penggunaan ACE-inhibitors adalah stenosis arteri renalis bilateral, riwayat edema angioneurotik, dan kehamilan SeputarJantung.comBacaan:Expert consensus document on angiotensin converting enzyme inhibitors in cardiovascular disease. European Heart Journal 2004: 25,1454-70 23

          Anestesi pada Pasien Hipertensi

          PENDAHULUAN 
          Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.1-4 Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5 
          Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia.7 Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai pemulihan pasca bedah.1,7

          DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI 
          Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang di ijinkan adalah sebagai berikut :
          • Dewasa 140/90 mmHg
          • Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
          • Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
          • Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg
          Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1).

          Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.2 

          Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:5,8
          1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
          2. Hipertensi sekunder: 
          A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
          Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA. 
          B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
          • Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.
          • Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
          • Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
          • Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).
          PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI 
          Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.1,3,9,10 Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi.1,3 Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi.3 
          Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu:1,9

          BP = CO x SVR 

          Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.9

          FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
          Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh.8,9 Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya, yaitu:
          1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop diuretics.
          2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).
          3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.
          4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

          Oral Antihypertensive Agents.3
          Category 
          Class 
          Subclass 
          Agent 
          Diuretics
          Thiazide type

          Chlorothiazide (Diuril)
          Chlorthalidone (Thalitone)
          Hydrochlorothiazide )
          Indapamide (Lozol)
          Metolazone (Zaroxolyn)
          Potassium sparing

          Spironolactone (Aldactone)
          Triamterene (Dyrenium)
          Amiloride (Midamor)
          Loop

          Bumetanide (Bumex)
          Ethacrynic acid (Edecrin)
          Furosemide (Lasix)
          Torasemide (Demadex)
          Sympatholytics
          Adrenergic-receptor blockers
          Β
          Acebutolol (Sectral)
          Atenolol (Tenormin)
          Betaxolol (Kerlone)
          Bisoprolol (Zebeta)
          Carteolol (Cartrol)
          Metoprolol (Lopressor)
          Nadolol (Corgard)
          Penbutolol (Levatol)
          Pindolol (Visken)
          Propranolol (Inderal)
          Timolol (Blocadren)
          Α
          α1
           
            Doxazosin (Cardura)
            Prazosin (Minipress)
            Terazosin (Hytrin)
          α1 + α2
           
            Phenoxybenzamine (Dibenzyline)
           α and β
            Labetalol (Trandate)
            Carvedilol (Coreg)
          Central 2-agonists
           

          Clonidine (Catapres)
          Guanabenz (Wytensin)
          Guanfacine (Tenex)
          Methyldopa (Aldomet)
          Postganglionic blockers
          Guanadrel
          Reserpine
          Vasodilators
          Calcium channel blockers
          Benzothiazepine
          Diltiazem1 (Tiazac)
           
          Phenylalkylamines
          Verapamil1 (Calan SR)
           
          Dihydropyridines
          Amlodipine (Norvasc)
          Felodipine (Plendil)
          Isradipine1 (Dynacirc)
           
          Nicardipine1 (Cardene)
           
          Nifedipine1 (Procardia XL)
           
          Nisoldipine (Sular)
          ACE inhibitors2
           
          Benazepril (Lotensin)
          Captopril (Capoten)
          Enalapril (Vasotec)
          Fosinopril (Monopril)
          Lisinopril (Zestril)
          Moexipril (Univasc)
          Perindopril (Aceon)
          Quinapril (Accupril)
          Ramipril (Altace)
          Trandopril (Mavik)

          Angiotensin-receptor antagonists
          Candesartan (Atacand)
          Eprosartan (Tevetan)
          Irbesartan (Avapro)
          Losartan (Cozaar)
          Olmesartan (Benicar)
          Telmisartan (Micardis)
          Valsartan (Diovan)
          Direct vasodilators

          Hydralazine (Apresoline)
          Minoxidil

          1Extended realease.
          2ACE, angiotensin-converting enzyme.


          MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI
          1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi 
          Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:10,11
          • Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
          • Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.
          • Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
          • Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
           Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronariasebesar 16%.11
          Efek samping Terapi Antihipertensi Lama
          Class 
          Adverse Effects 
          Diuretics 

            Thiazide
          Hypokalemia, hyponatremia, hyperglycemia, hyperuricemia, hypomagnesemia, hyperlipidemia, hypercalcemia
            Loop
          Hypokalemia, hyperglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, metabolic alkalosis
            Potassium sparing
          Hyperkalemia
          Sympatholytics 

             β-Adrenergic blockers
          Bradycardia, conduction blockade, myocardial depression, enhanced bronchial tone, sedation, fatigue, depression
             α-Adrenergic blockers
          Postural hypertension, tachycardia, fluid retention
            Central α2-agonists
           
          Postural hypotension, sedation, dry mouth, depression, decreased anesthetic requirements, bradycardia, rebound hypertension, positive Coombs test and hemolytic anemia (methyldopa), hepatitis (methyldopa)
            Ganglionic blockers
          Postural hypotension, diarrhea, fluid retention, depression (reserpine)
          Vasodilators 

            Calcium channels blockers
          Cardiac depression, bradycardia, conduction blockade (verapamil, diltiazem), peripheral edema (nifedipine), tachycardia (nifedipine), enhanced neuromuscular nondepolarizing blockade
            ACE inhibitors1
           
          Cough, angioedema, reflex tachycardia, fluid retention, renal dysfunction, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia, bone marrow depression (captopril)
            Angiotensin-receptor antagonists
          Hypotension, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia
            Direct vasodilators
          Reflex tachycardia, fluid retention, headache, systemic lupus erythematosus-like syndrome (hydralazine), pleural or pericardial effusion (minoxidil)
          1ACE, angiotensin-converting enzyme.
           

          2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi 
          Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.11,13,14

          3. Perlengkapan Monitor
          Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:5
          • EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
          • Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
          • Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.
          • Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.
          • Suhu atau temperature.
          4. Premedikasi 
          Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

          5. Induksi Anestesi 
          Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
          • Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.
          • Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
          • Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
          • Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
          • Menggunakan anestesia topikal pada airway..
          Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10

          6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring 
          Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8
          • Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
          • Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
          • Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
          • Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.
          Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochro-macytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.3,10

          7. Hipertensi Intraoperatif 
          Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupunsaat pasca bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.3

          Tabel 2. Agents Parenteral Untuk Terapi Akut Hipertesi.3
          Agent
          Rentang Dosis
          Onset
          Duration
          Nitroprusside
          0.5–10 g/kg/min
          30–60
          1–5 min
          Nitroglycerin
          0.5–10 g/kg/min
          1 min
          3–5 min
          Esmolol
          0.5 mg/kg over 1 min; 50–300 g/kg/min
          1 min
          12–20 min
          Labetalol
          5–20 mg
          1–2 min
          4–8 h
          Propranolol
          1–3 mg
          1–2 min
          4–6 h
          Trimethaphan
          1–6 mg/min
          1–3 min
          10–30 min
          Phentolamine
          1–5 mg
          1–10 min
          20–40 min
          Diazoxide
          1–3 mg/kg slowly
          2–10 min
          4–6 h
          Hydralazine
          5–20 mg
          5–20 min
          4–8 h
          Nifedipine (sublingual)
          10 mg
          5–10 min
          4 h
          Methyldopa
          250–1000 mg
          2–3 h
          6–12 h
          Nicardipine
          0.25–0.5 mg
          1–5 min
          3–4 h
          5–15 mg/h
          Enalaprilat
          0.625–1.25 mg
          6–15 min
          4–6 h
          Fenoldopam
          0.1–1.6 mg/kg/min
          5 min
          5 min


          Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19 Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3
          • Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
          • Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
          • Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
          • Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.
          • Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.
          • Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
          • Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
           
          8. Krisis Hipertensi 
          Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20

          9. Manajemen Postoperatif 
          Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.3,10,14

          REFERENSI
          1. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at: http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf
          2. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.
          3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.
          4. Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive regimen. West J Med 1991;154:78-87.
          5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient manajement. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
          6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
          7. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www. emedicine. com/MED/ topic3158.htm..
          8. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm.
          9. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160- 83.
          10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
          11. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.
          12. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.
          13. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors. Available at: www.uptodate.com.
          14. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.
          15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.
          16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.
          17. Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care 2005;14:e12.
          18. Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
          19. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH, David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.1178-22.
          20. Hypertensive emergencies. Available at: www.ehs.egypt.net/pdf/11-guideline.pdf.

          Farmakoterapi GAGAL GINJAL AKUT

          — Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsiny...