Jumat, 03 Juni 2016

Farmakokinetik pada Kehamilan


Kehamilan merupakan proses fisiologi yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan selama masa kehamilan. Keadaan ini mempengaruhi farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya, sehingga bisa mempengaruhi efek obat.
Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun ikut berubah.
Perubahan - perubahan yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran  nafas, dan peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal.
Perubahan perubahan lainnya :
Kehamilan bisa mengubah absorpsi obat yang diberikan peroral
Kehamilan bisa mengubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta peningkatan cardiac output.
Kehamilan mengubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuhnya reseptor obat yang baru di plasenta dan janin .
Kehamilan dapat mengubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerul

Absorbsi
Faktor mempengaruhi Absorbi di saluran cerna

 

Pada pediatri terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mucus.
Kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsi obat.
Mual dan muntah yang sering terjadi pada trimester pertama kehamilan dapat pula menyebabkan rendahnya konsentrasi obat dalam plasma.
Pada pasien ini dianjurkan untuk mengonsumsi obat pada saat mual dan muntah. Dengan mengubah formula obat berdasarkan perubahan sekresi usus dan mengatur kecepatan serta tempat pelepasan obat, diharapkan absorbsi obat akan menjadi lebih baik.

Distribusi

Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%.
Peningkatan curah jantung akan mengakibatkan peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I.
Peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam), dimana 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan menuju ke myometrium.
Peningkatan total jumlah cairan tubuh adalah 8 L, terdiri dari 60% pada plasenta, janin, dan cairan amnion, sementara 40% berasal dari ibu.
Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (Cmax) dalam plasma.
  
Metabolisme


Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis yang mengakibatkan kadar obat bebas akan meningkat.
Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat.

Eliminasi 

Eliminasi oleh Hati
Fungsi hepar dalam kehamilan  banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hepar bertambah secepat mungkin akibat  rangsangan  pada aktivitas enzim mikrosom hepar yang disebabkan oleh hormon progesteron; sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hepar berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi kompetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesteron. Estrogen juga mempunyai efek kolestatik yang mempengaruhi ekskresi obat-obatan seperti rifampisin ke sistem empedu


Eliminasi oleh Ginjal
Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah.

Patofisiologi


Teratogenik (Teratogenesis) adalah Perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan embrio.

  
Obat dikategorikan sebagai Teratogenik jika obat itu melewati plasenta dan menyebabkan malformasi kongenital.

Risiko teratogenik juga sangat ditentukan dari seringnya penggunaan obat, berkaitan dengan Dosis dan Efek samping obat.

Waktu kritis untuk organonesis adalah selama 8 minggu pertama kehamilan. Oleh karena itulah risiko ketidaknormalan kelahiran lebih tinggi selama Trimester pertama. Setelah 8 minggu pertama, kebanyakan efek teratogenik berhubungan dengan restriksi pertumbuhan fetal atau kemunduran secara fungsional, seperti Keterbelakangan mental.

Talimidon 
Obat yang berdampak besar terhadap perkembangan ekstremitas hanya melalui pajanan singkat.
Risiko fokomelia (cacat  pada lengan)  akibat talidomid terjadi pada usia gestasi minggu ke-4 hingga ke-7 karena pada masa ini, lengan dan tungkai berkembang. 
 
Sejak kejadian tragedi talidomid, penggunaan obat potensi teratogenik pada manusia, padahal kenyataannya hanya dari 30 obat yang terbukti memiliki efek demikian, dengan ratusan obat lainnya terbukti aman bagi  janin, lewat pemberian  konseling dan informasi yang tepat kepada ibu hamil diharapkan dapat menurunkan risiko teratogenik,


OBAT
EFEK TERATOGENIK
Inhibitor ACE
Kerusakan renal, restriksi pertumbuhan
Barbiturat
Sindrom putus obat neonatal
Benzodiazepin
Sindrom putus obat neonatal
Karbamazepin
Abnormalitas batang saraf
Agen kemoterapi
Malformasi multiple (system saraf pusat, wajah dan limpa)
Isotretinoin
Malformasi system saraf pusat, telinga dan jantung
Litium
Maltformasi kardiovaskuler
Misoprostol
Malformasi system saraf pusat dan limpa
Agen anti inflamasi non steroid
Penutupan premature dari duktus arteriosus (akhir trimester kedua dan ketiga), pendarahan dan enterokolitis nekrosis.
Opioid
Sindrom putus obat neonatal.
Fenitoin
Malformasi system saraf pusat, restriksi pertumbuhan janin.
Tetrasiklin
Malformasi gigi dan tulang
Talidomid
Malformasi organ dalam dan limpa
Asam Valproik
Abnormalitas batang saraf
Warfarin
Restriksi pertumbuhan, pendarahan janin, malformasi tulang dan system saraf pusat.

 
Faktor pemilihan Obat


1. Faktor Penyebab
< 10% kehamilan menghasilkan abnormalis (termasuk keguguran, kematian saat dilahirkan), dan dari angka itu hanya 2-3% disebabkan oleh obat atau faktor lingkungan.
Sakit : menyebabkan risiko lebih besar terhadap fetus dibandingkan karena obat.
Penyakit kehamilan dapat berkaitan dengan abnormalitas kongenital, contoh: epilepsi
Merokok dan alkohol : abnormalitas kongenital, hambatan pertumbuhan, dan absorbsi spontan
 
 
2. Karakteristik Obat
Kebanyakan obat melewati plasenta.
Obat bobot molekul tinggi tidak bisa melewati plasenta.
Obat tidak terionisasi dan lipofilik (contoh: labetolol)  melewati plasenta lebih banyak dari pada obat teronisasi atau hidrofilik (contoh: atenolol)
Suatu obat dapat menyebabkan  toksisitas fetal tanpa melewati plasenta (contoh: obat apapun yang menyebabkan vasokontriksi dari pembuluh darah plasenta)
 
3. Pengaturan Waktu
Jika obat digunakan pada 12 hari pertama (fase pra-embrionik). Ada efek all or nothing, misalnya jika semua sel terpengaruh, akan terjadi pebaikan/ Penggantian sel, dan fetus akan normal.
Trimester pertama terutama minggu 3-11 akan memberikan risiko abnormalitas kongenital lebih besar.
Trimester kedua atau ketiga, risiko utama adalah gangguan pertumbuhan, atau kehilangan fungsi, bukan abnormalitas struktur.
Sebelum atau sesudah melahirkan, ada risiko komplikasi maternal (contoh: NSAID dan pendarahan kehamilan), atau komplikasi neonatal (contoh: opioid dan sedasi). 
 
4. Pertimbangan Lain
Ada atau tidaknya efek teratogenik  pada obat
Penggunaan Obat dosis tinggi/ selama trimester pertama memiliki risiko yang lebih tinggi
Penggunaan Obat dengan abnormalitas pada dosis tinggi/ selama trimester kedua atau ketiga (contoh: flukonazol)
mrnggunakan obat yang sudah terbukti aman.
Mempertimbangkan perawatan tanpa obat atau apakah perawatan dapat ditunda hingga setelah kehamilan.
 
Terapi
 
Terapi non farmakologi
Mual dan muntah : Perubahan gaya hidup dan pola makan, akupuntur, dan akupresur. Wanita disarankan untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan yang dapat mengakibatkan rasa mual .
Konstipasi dan wasir : Untuk memakan makanan tinggi serat, meminum banyak cairan dan menghindari makanan seperti nasi putih dan keju yang sering menambah buruk konstipasi.
 
Gangguan lambung : Untuk makan sedikit tetapi sering, tetap pada posisi tegak setelah makan, posisi kepala lebih tinggi saat tidur.
Nyeri (nyeri punggung dan pelvis) : Aerobic air, penggunaan bantal yang menopang perut, fisioterapi dan akupuntur dapat menurunkan nyeri punggung.
Flu biasa : Istirahat, cairan, udara yang terkendali kelembababnya dan penggunaan nasal saline.
 
 Terapi Obat
 
Kategori kehamilan FDA (Food drug administrasions :
Kategori A
Dapat ditoleransi.
Kategori B
Dalam pengujian pada hewan percobaan menunjukan adanya gangguan terhadap vetus, tetapi belum ada penelitian yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil.
Kategori C
Dalam pengujian hewan menunjukan efek samping tetapi belum ada pengujian yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil.
Kategori D
Dalam pengujian-pengujian yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil menunjukan adanya resiko pada vetrus.
Kategori X
Pada pengujian yang cukup dan terkontrol pada hewan dan wanita hamil menunjukan hasil yang positif akan normalitas vetrus. Penggunaan produk ini dikontraindikasikan pada wanita yang sedang ataupun kan hamil.

Kategori untuk Antibiotik :
Antibiotik kategori A : Antibiotik ini adalah jenis yang paling aman, karena tidak membahayakan janin pada trimester pertama atau pada saat mau melahirkan. Contohnya Mycostatin.
Antibiotik kategori B : Adalah antibiotik yang mayoritas dianggap aman selama kehamilan, karena tidak ada bukti cacat lahir atau komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan. Hal ini termasuk penisilin, cefixime, amoksisilin, ibuprofen, ampisilin, dan banyak lagi.
Antibiotik kategori C : Ada data yang cukup mengenai efek samping dari antibiotik jenis ini selama kehamilan, sehingga harus dihindari selama kehamilan. Hal ini termasuk Bactrim, monistat, cipro, diflucan, dll.
Antibiotik kategori D : antibiotik jenis ini harus dihindari apapun alasannya selama kehamilan dan pengobatan kehamilan, karena diketahui menyebabkan cacat lahir atau menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan. Antibiotik kategori ini termasuk oxytetracycline, naproxen, dll.

 
Kasus
 
Hipertensi kronis pada kehamilan :
Seorang wanita yang telah berusia 35 tahun, belum pernah hamil dan telah memiliki riwayat hipertensi selama 5 tahun terakhir dan ingin segera mendapatkan kehamilan. Dia telah berhenti menggunakan kontrasepsi. Satu-satunya obat yang masih dikonsumsinya adalah lisinopril 10 mg perhari. Tekanan darahnya kini 124/68 mm Hg, dengan indeks masa tubuh 27. Indeks masa tubuh adalah berat badan dalam satuan kilogram permeter persegi luas permukaan tubuh. Apa yang dapat kita sarankan untuk pasien ini?

Evaluasi sebelum kehamilan
-Perawatan wanita dengan hipertensi kronis harus dimulai sebelum masa kehamilan (konseling tentang potensi komplikasi kehamilan).
-Penilaian target-target kerusakan organ yang akan terjadi (JNC 7)
-Rekomendasi pemeriksaan (penggunaan elektrokardiografi (EKG), dan penilaian kadar glukosa darah, hematokrit, kalium serum, kreatinin, kalsium dan profil lipoprotein serta urinalisis.
 
 
 
Pemantauan Preeklamsia
-Adanya kenaikan tekanan darah pada kehamilan.
-setiap kali ada onset baru peningkatan proteinuria dari kondisi basalnya.
-Bila adanya trombositophenia atau tingginya pengujian level fungsi hati dapat mendukung penetapan diagnosis preeklamsia.
 
Tekanan Darah Ideal pada Kehamilan
Rekomendasi berbeda tentang indikasi terapi awal dengan agen antihipertensi (rentang tekanan darah dari >159/89 mm Hg menjadi >169/109 mm Hg) dan tekanan darah target untuk wanita yang menerima terapi adalah <140/90 mm Hg hingga <160/110 mm Hg
*selama tekanan darah berada pada ambang batas normal, maka penggunaan obat hipertensi bisa dikurangi/dihentikan.

Pengobatan dengan Agen antihipertensi
Obat-obat antihipertensi yang dapat digunakan pada masa kehamilan yaitu : Metil dopa, Labetalol, Metoprolol, Nifedipin, Hidralazin, Hidroklorotiazid

Kesimpulan :
Wanita dengan hipertensi kronis seperti dalam contoh kasus harus diberi konseling untuk menggunakan kontrasepsi sampai ia menjalani evaluasi sebelum kehamilan, yang meliputi: Penilaian kerusakan akhir organ-organ, Evaluasi penyebab hipertensi, Pencatatan riwayat medis, Pemeriksaan fisik, Pengujian laboratorium dan Penyesuaian terapi antihipertensi. Jika penyebab hipertensi reversibel terdeteksi sebelum kehamilan maka harus segera diatasi sebelum kehamilan. Sebelum hamil, pasien harus mengganti ACE inhibitor dengan agen lain yang dianggap aman untuk wanita hamil seperti metildopa, labetalol atau nifedipin kerja panjang. Pasien juga disarankan untuk melakukan penurunan berat badan. Meskipun pedoman merekomendasikan penggunaan metildopa sebagai terapi lini pertama, namun dalam prakteknya labetalol lebih sering digunakan sebagai terapi lini pertama karena efek sampingnya yang lebih ringan. Pasien harus senantiasa didampingi selama kehamilannya. Karena dia memiliki riwayat 5 tahun hipertensi maka beresiko mengalami preeklamsia. Tekanan darah sebaiknya berada pada kisaran 130/80 hingga 150/100 mm Hg.
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Farmakoterapi GAGAL GINJAL AKUT

— Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsiny...