Jumat, 27 November 2015

Penggolongan Obat Kardiovaskular

Golongan Obat kardiovaskular adalah :
I.   Obat Gagal Jantung.
II.  Antiaritmia.
III. Antiangina.
IV. Antihipertensi.
I. OBAT GAGAL JANTUNG

PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG BENDUNGAN
        Gagal jantung bendungan atau payah jantung bendungan (congestive heart failure = decompensatio cordis) adalah suatu keadaan saat terjadi pengurangan kontraktilitas otot jantung yang menimbulkan bendungan sirkulasi sehingga jantung gagal untuk mengalirkan darah ke jaringan dan kebutuhan oksigen di berbagai jaringan tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, antara lain hipertensi, kelainan katup jantung, anemia berat, defisiensi vitamin B1, sirosis hepatitis, gagal ginjal dan penyakit paru kronis.
Pengobatan payah jantung bendungan ialah dengan mengusahakan untuk menghilangkan bendungan sirkulasi, yaitu dengan:
1. Mengurangi beban jantung (istirahat, menurunkan berat badan, menghilangkan penyebab, pembatasan asupan garam [<1500 mg Natrium/hari], dll.).
2. Meningkatkan kontraktilitas miokard dengan senyawa yang berefek inotropik positif (glikosid jantung, dlll).
3. Menekan preload (beban sebelum kerja jantung) dan afterload (beban sesudah kerja jantung), yaitu dengan diuretik untuk mengurangi volume darah, dan vasodilator untuk menurunkan tahanan pembuluh darah perifer.
4. Menggunakan antiaritmia untuk memperbaiki frekuensi dan kelainan irama jantung.
Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, pengosongan ventrikel akan lebih baik, tekanan vena menurun, frekuensi denyut jantung akn lebih baik, masa diastol akan lebih panjang, dan aliran darah ke otot jantung diperbaiki. Aliran darah ke ginjal juga diperbaiki, dieresis meningkat, dan udema akan hilang.
Pada gagal jantung, bendungan yang disebabkan oleh kerusakan otot jantung (infark miokard) tidak mungkin untuk memberikan obat inotropik positif. Dengan demikian, agar kerja jantung efisien, digunakan diuretic dan vasodilator.
Obat-obat gagal jantung dapat dibedakan atas 3 golongan, yaitu :
1. Inotropik, yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard, yaitu glikosida jantung, misalnya digitalis, digoksin, digitoksin, ouabain, strophantin K, dan inotropik lain (agonis β-adrenergik dan inhibitor fosfodiesterase).
2. Diuretik, yang menurunkan volume cairan ekstraseluler sehingga mengurangi beban jantung.
3. Vasodilator, yang mengurangi beban jantung.

Pemberian obat-obat tersebut dapat meningkatkan curah jantung sehingga dapat mengurangi gejala dan memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan; namun tidak dapat mengembalikan keadaan patologik ke keadaan semula.

1. INOTROPIK
    a.  Glikosida Jantung
Glikosida jantung mempunyai efek inotropik positif, yaitu memperkuat kontraksi otot jantung sehingga meningkatkan curah jantung. Efek inotropik positif terjadi melalui peningkatan konsentrasi ion Ca sitoplasma yang memacu kontraksi otot jantung.
Glikosida jantung alamiah dapat diperoleh dari berbagai tanaman, yaitu:
• Folia digitalis purpurea menghasilkan digitoksin, gitoksin, dan gitalin.
• Folia digitalis lanata menghasilkan lanatosid A (hidrolisisnya menghasilkan digitoksin) lanatosid B (hidrolisisnya menghasilkan gitoksin) dan lanatosid C (hidrolisisnya menghasilkan digoksin)
• Strofantus gratus menghasilkan glikosid ouabain dan Strofantus kombe menghasilkan glikosid strofantin.
• Urginea maritime (ganggang laut) menghasilkan skilaren, yakni zat aktif yang memacu kerja jantung.

Farmakodinamik, semua glikosida jantung mempunyai farmakodinamika yang sama, dan hanya berbeda dalam farmakokinetiknya, Glikosida jantung mempunyai efek :
• Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (kerja inotropik positif).
• Memperlambat frekuensi denyut jantung (kerja kronotropik negatif).
• Menekan hantaran rangsang (kerja dromotropik negatif).
• Menurunkan nilai ambang rangsang. Hal ini akan mempermudah timbulnya rangsangan heterotropik, yang kemudian menyebabkan ekstrasistol.
Mekanisme Kerja, glikosida jantung bekerja menghambat enzim Natrium-Kalium ATP-ase pada reseptor di membran sel. Kemudian di miokardium, khususnya pertukaran ion-ion Na+- K+, diubah menjadi pertukaran ion-ion Na+ - Ca++ meningkatkan influx Ca++ menjadi protein kontraktil tergantung-Ca2+ pada sel otot jantung. Pada nodus AV, glikosida bekerja memperpanjang periode refrakter dan menurunkan kecepatan impuls supraventrikel yang ditransmisikan ke ventrikel. Mekanisme efek ini kurang dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan peningkatan aktivitas vagal dan pengurangan sensitivitas nodus AV terhadap impuls simpatik; kedua hal ini menyebabkan penekanan konduksi yang melewati nodus.
Farmakokinetik, Bioavailabilitas sediaan oral sangat bervariasi sehingga perlu memantau kadarnya dalam serum. Absorbsinya dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna, perlambatan pengosongan lambung, malabsorbsi, dan antibiotika. Ekskresi digitalis berbeda menurut jenisnya masing-masing. Ekskresi terutama melalui ginjal dalam bentuk utuh dan sebagian dalam bentuk yang telah diubah. Sediaan yang paling lambat diekskresikan adalah digitoksin dan yang paling cepat adalah ouabain.
Digitalis, dalam darah digitalis berikatan dengan albumin plasma. Ikatan ini berbeda untuk tiap sediaan digitalis. Metabolismenya terutama terjadi dalam hepar, sehingga pada penderita payah jantung dengan fungsi hepar terganggu kemungkinan terjadinya intoksikasi digitalis lebih besar.
Digoksin, obat ini terikat dengan protein plasma sebanyak 25%; sebagian besar ekskresi melalui urine dalam bentuk utuh. Pada keadaan gagal ginjal dosisnya harus diturunkan. Waktu paruh sekitar 1,6 hari (40 jam).
Digitoksin, sebanyak 90% digitoksin diikat oleh protein plasma. Senyawa ini dimetabolisasi oleh enzim mikrosom hati (salah satu hasil metabolismenya adalah digoksin). Digitoksin mengalami sirkulasi enterohepatik yang nyata, dan waktu paruhnya 4-7 hari. Metabolit hepatik diekskresikan dalam urine.
Oubain, walaupun kerjanya cepat, obat ini jarang digunakan di klinik.
Indikasi Klinik Glikosida Digitalis, diindikasikan untuk (1) lemah jantung kongestif, dan (2) depresi nodus AV. Tujuan pemberian glikosida pada depresi nodus AV ialah untuk mengontrol respons ventrikel terhadap takikardi supraventrikel paroksimal, flutter atrial atau fibrilasi atrial.

Efek Samping
• Gejala saluran cerna, hilangnya nafsu makan dan mual/muntah merupakan gejala paling dini yang timbul pada keracunan digitalis.
• Efek pada jantung, antara lain ekstrasistol, fibrilasi atrium, fibrilasi ventrikel (gangguan pembentukan rangsangan), serta dapat terjadi blok SA dan blok AV.
• Susunan saraf, sakit kepala, trigeminal neuralgia, capai/lemah, disorientasi, afasia, delirium, konvulsi dan halusinasi.
• Gangguan penglihatan, kromatopsia (buta warna sebagian atau seluruhnya); penglihatan kabur, diplopia dan skotomata (adanya daerah buta/sebagian buta dalam visus). Kromatopsia yang sering terjadi adalah warna hijau dan kuning (xantopsia).
• Gejala lain: (1) pada laki-laki ada kalanya terjadi ginaekomastia (menyerupai efek estrogen), (2) kelainan kulit dapat berupa urtikaria (jarang sekali), (3) eosinofilia yang nyata dalam darah, dan (4) koagulasi darah, belum ada data-data yang jelas dari klinik.

Interaksi Obat
• Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan predisposisi untuk intoksikasi digitalis.
• Kalsium dan digitalis mempunyai efek yang sama pada miokard. Efek inotropik digitalis yang positif kemungkinan besar melalui efek Kalsium.
• Barbiturat, rifampisin, fenilbutazon, dan fenitoin menginduksi enzim mikrosomal hati sehingga meningkatkan metabolisme digitoksin (metabolitnya digoksin).
• Diuretik (potassium loosing diuretic), klortalidon, etakrinik, furosemid, dan golongan diuretik tiazid saling memperkuat efek glikosida jantung.
• Obat simpatomimetik memudahkan terjadinya ectopic pacemaker.
• Neomisin mengganggu absorbsi digitalis.
• Verapamil, nifedipin, amiodaron, kuinidin, tetrasiklin, diazepam, eritromisin, dan hipotiroid dapat meningkatkan efek digoksin. Antasid, prednisone, rifampisin, dan hipertiroid dapat menurunkan efek digoksin.

b. Dobutamin
     Dobutamin adalah suatu agonis β-adrenergik yang bekerja sebagai inotropik positif pada jantung. Dalam dosis sedang, dopamine meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa meningkatkan frekuensi denyut jantung, sedangkan dosis yang lebih tinggi meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Hal ini agaknya menunjukkan kerja yang relatif selektif pada otot ventrikel. Jadi, secara relatif, dobutamin lebih menonjol dalam hal meningkatkan kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan frekuensi denyut janyung sehingga obat tersebut menghasilkan inotropik positif.
Secara kimia, dobutamin mirip dengan dopamin, tetapi mempunyai gugus aromatik sebagai pengganti gugus amino. Katekolamin sintetik ini terutama bekerja pada β1-adrenoreseptor, sedikit memenuhi β2-reseptor dan α serta tidak memengaruhi reseptor dopamin. Selain itu, dobutamin juga menambah otomatisitas sinus pada manusia;aksi ini tidak menonjol, seperti pada isoproterenol. Efek yang kontras dengan dopamin, dopamin tidak mempunyai efek reseptor dopaminergik dalam pembuluh darah ginjal sehingga tidak menyebabkan vasodilatasi ginjal.
Efek Samping :
• Takikardia dan hipertensi, dalam hal ini dosis diturunkan.
• Mual, sakit kepala, palpitasi, nyeri angina, sesak nafas, dan aritmia ventrikel kadang-kadang terjadi.
• Fibrilasi atrium. Pada penderits dengan penyakit jantung koroner tanpa gagal jantung, dopamin dapat menyebabkan iskemik miokard.
Toksisitas, karena efek elektrofisiologi yang disebabkan oleh dobutamin tidak jauh berbeda dengan isoproterenol dan dopamin, aritmia kordis dapat terjadi. Dobutamin menambah konduksi AV dan dibarengi dengan fibrilasi atrial. 5 – 10% pasien memakai dobutamin, irama jantung dan tekanan sistoliknya meningkat. Efek tersebut segera berkurang bila dosis diturunkan.

c. Inhibitor Fosfodiesterase
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amrinon dan milrinon sebagai inhibitor fosfodiesterase yang memacu peningkatan konsentrasi siklik-AMP intrasel, dan meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau bersifat inotropik positif. Akhir-akhir ini, hasil uji klinis menunjukkan bahwa obat-obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian mendadak dan tidak dapat memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan.

2. DIURETIK
      Ginjal memegang peranan penting dalam pathogenesis gagal jantung sebab pengurangan volume cairan ekstrasel dengan diuretik akan menurunkan preload, mengurangi bendungan paru, dan edema di perifer. Oleh karena itu, dewasa ini diuretik sering dipakai sebagai obat pertama pada gagal jantung bendungan ringan dengan denyut jantung yang normal. Pada fungsi ginjal yang normal, golongan tiazid adalah obat pilihan untuk gagal jantung.
Obat golongan ini meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- melalui urine. Secara sekunder terjdi pengeluaran K+ akan membahayakan penderita yang juga mendapat digitalis sebab bila terjadi hipokalemia, jantung akan lebih rentan terhadap digitalis sehingga mudah terjadi keracunan digitalis. Dalam hal ini, perlu pemeriksaan elektrolit secara berkala. Pasien juga harus diberikan sediaan yang mengandung Kalium (KCl) atau banyak makan buah-buahan.
Selain itu, dapat pula diberikan diuretik hemat kalium, seperti aldosteron antagonis (spironolakton), triamteren, dan amilorid. Dibanding dengan furosemid, efek diuretik hemat kalium kurang kuat.
Cara kerja diuretik adalah penghambatan secara kompetitif. Hiperaldosterinisme terjadi karena peningkatan ekskresi aldosteron oleh korteks bertambah. Hal ini disebabkan oleh sekresi glikokortikoid yang meningkat.
Peningkatan sekresi glikokortikoid tersebut terjadi karena pembedahan, rasa takut, stress, trauma fisik, perdarahan, asupan kalium meningkat, asupan natrium menurun, bendungan vena kava inferior, sirosis hepatitis, nefrosis, dan gagal jantung.
4. VASODILATOR
   Vasodilator berperan penting dalam mengatasi gagl jantung berat, terutama yang disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral, dan insufiensi aorta.
Vasodiltor akan memperbaiki keseimbangan kardiovaskular. Pada gagal jantung bendungan, gangguan fungsi kontraksi jantung diperberat oleh peningkatan kompensasi pada preload dan afterload. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole. Afterload adalah tekanan yang harus diatasi jantung pada saat memompa darah ke sistem arterial. Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebihan. Peningkatan afterload menyebabkan jantung bekerja lebih kuat memompa darah ke sistem arterial. Pemberian vasodilator berguna untuk mengurangi preload dan afterload yang berlebihan. Dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena; vasodilator arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload.
Pemilihan vasodilator untuk penderita gagal jantung dilakukan berdasarkan gejala gagal jantung dan parameter yang ada. Pada penderita yang tekanan pengisiannya (filling pressure) tinggi sehingga sesak nafas yang menonjol, vasodilator akan membantu mengurangi gejala. Sebaliknya, penderita dengan curah jantung rendah yang ditandai dengan kelelahan umum (fatique) akan tertolong dengan arteriole dilator. Namun, pada penderita gagal jantung kronis yang kurang responsif terhadap pengobatan, biasanya kedua faktor di atas berperan sehingga diperlukan vasodilator yang sekaligus bekerja pada arteriol dan vena.
Vasodilator parenteral misalnya natrium nitroprusid atau nitrogliserin i.v, digunakan untuk mengobati gagal jantung kronis dan eksaserbasi akut yang berat.
Inhibitor ACE dan vasodilator oral jangka panjang, ditujukan untuk gagal jantung kronik yang berat refrakter. Nitrogliserin yang digunakan untuk angina pektoris dapat pula digunakan untuk mengurangi preload sehingga akan mengurangi edema paru.

 a. Natrium Nitroprusid
Karena berefek arteriodilator dan vasodilator, obat ini mengurangi tekanan pengisian dan meningkatkan curah jantung pada penderita gagal jantung dengan gangguan pompa yang berat
Obat ini lebih efektif dan lebih cepat kerjanya. Isi sekuncup yang ditimbulkan dapat mengimbangi turunnya resistensi perifer sehingga tekanan darah biasanya tidak banyak berubah. Kombinasi dengan zat inotropik, misalnya dobutamin akan meningkatkan efektivitasnya, terutama pada penderita dengan komplikasi hipotensi. Dosis yang biasa diberikan adalah 15-20 µg/menit pada orang dewasa dan 0,1-8 µg/kg BB/menit pada anak-anak.

b. Nitrogliserin
Indikasi utama obat ini ialah untuk angina pectoris, tetapi karena dapat mengurangi preload, obat ini bermanfaat untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan mengurangi edema paru akut.
Hidralazin
Merupakan arteriodilator. Dalam penggunaan jangka panjang pada gagal jantung bendungan akan memperbaiki hemodinamik walaupun efeknya terhadap kebertahanan hidup masih belum jelas. Refleks takikardi yang sering timbul pada penderita hipertensi jarang terjadi pada pengobatan gagal jantung.
Cara kerja, hidralazin merelaksasi otot polos arteriol secara langsung dan vasodilatasi yang terjadi dapat menimbulkan reaksi kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, serta peningkatan renin plasma dan retensi cairan yang akan melawan efek hipotensi obat. Penurunan tekanan diastolik lebih besar daripada tekanan sistolik. Absorbsinya melalui saluran cerna dan hampir sempurna.
Efek samping, dapat berupa :
1. Retensi natrium dan air. Untuk mengatasinya, berikan diuretic.
2. Sakit kepala dan takikardi, dapat diatasi dengan menurunkan dosis.
3. Iskemik otot jantung, gangguan saluran cerna, kulit dan muka memerah, nyeri otot, nyeri sendi, pembesaran limfa, edema, dan toksik hepar. Semuanya dapat pulih kembali bila obat dihentikan.

c. Inhibitor ACE (kaptopril, enalapril)
Kaptopril adalah suatu medilator yang bekerja menghambat enzim konversi angiotensin (angitensin Converting Enzyme, ACE). Inhibitor ACE merupakan obat pilihan untuk gagal jantung bendungan, dan lebih baik daripada vasodilator lain. Efek farmakologi inhibitor ACE adalah pada sistem renin-angiotensin, yaitu menghambat perubahan angiotensin I inaktif menjadi angiotensin II yang aktif. Inhibitor ACE ini sangat spesifik. Obat ini tidak berinteraksi secara langsung dengan komponen lain dari sistem renin-angiotensin termasuk reseptor peptide. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan merupakan salah satu perangsang kuat terhadap kelenjar adrenal untuk sekresi aldosteron yang merangsang reabsorbsi Na+ dan Cl- dalam ginjal. Karena sistem arteriolar mengalami dilatasi, inhibitor ACE akan mengurangi afterload dan jantung curah meningkat (inotropik positif). Inhibitor ACE bukan hanya menyebabkan dilatasi arteriol sehingga mengurangi afterload melainkan juga menyebabkan venodilatasi sehingga mengurangi retensi cairan dan mengurangi preload. Frekuensi jantung umumnya berkurang, inhibitor ACE ini juga mengurangi tahanan pembuluh darah paru dan tahanan atrial kiri dan ventrikel kiri (preload). Aliran darah otak dan jantung tidak berubah walaupun tekanan darah menurun. Pada pemberian oral, absorbsinya cepat.
Bioavailabilitas rata-rata 60% dan berkurang karena makanan. Obat diberikan 1 jam sebelum makan. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruhnya kira-kira 2 jam. Kurang lebih 95% obat ini dikeluarkan melalui urine. 50% sebagai kaptopril dan sisanya sebagai metabolit. Ekskresi obat ini lambat pada pasien ginjal.
Efek samping
1. Hipotensi, terutama bila diberikan bersama dengan diuretik. Berikan dosis awal sekecil mungkin, lalu lanjutkan sesuai kebutuhan.
2. Insufisiensi ginjal pada pasien stenosis ginjal bilateral. Hal ini disebabkan oleh pengurangan angiotensin II yang diperlukan dalam keadaan tersebut untuk mengonstriksi pembuluh arterial eferens glomerulus sehingga filtrasi memadai.
3. Kulit memerah, indra pengecap terganggu/hilang sama sekali, vertigo, sakit kepala, dan berbagai gejala saluran cerna, proteinemia, dan batuk kering mengendap.
4. Kaptopril tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Indikasi, pasien gagal ventrikel kiri (semua tingkat), termasuk infark miokard. Saat infark miokard terjadi, pengobatan harus dimulai sendiri, mungkin setelah infark miokard.

II. OBAT ANTIARITMIA
PATOFISIOLOGI ARITMIA
Obat-obat antiaritmia terdiri atas golongan molekul heterogen yang memengaruhi fungsi elektrofisiologi jantung dengan jalan memblok kanal ion (kanal natrium, kalsium, dan kalium) atau dengan mengurangi efek simpatik.
Rangsangan jantung secara normal disalurkan dari sentrum impuls pacu nodus SA (sinoatrial) melalui atrium, sistem hambatan hantaran atriventrikuler (AV), berkas serabut Purkinje, dan otot ventrikel.
Dalam keadaan normal, pacu untuk denyut jantung dimulai di denyut nodus SA (Nodus Keith-Flack). Jadi, ada “irama sinus” dengan 70-80 kali per menit, di nodus AV (Nodus Tawara) dengan 50 kali per menit.
Sentrum yang tercepat membentuk pacu memberikan pimpinan, dan sentrum yang memimpinini disebut Pacemaker. Dalam keadaan tertentu, sentrum yang lebih rendah pun dapat juga bekerja sebagai pacemaker, yaitu :
1. Bila sentrum SA membentuk pacu lebih kecil, atau bila sentrum AV membentuk pacu lebih besar.
2. Bila pacu di SA tidak sampai ke sentrum AV, dan tidak diteruskan ke Bundel His akibat adanya kerusakan pada sistem hantaran atau penekanan oleh obat.
Aritmia terjadi karena gangguan pembentukan impuls (otomatisasi abnormal atau gangguan konduksi). Gangguan dalam pembentukan pacu, antara lain :
1. Gangguan dari irama sinus, seperti takikardi sinus, bradikardi sinus, dan aritmia sinus.
2. Debar ektopik dan irama ektopik :
a. Takikardi sinus fisiologis, yaitu pekerjaan fisik, emosi, waktu makanan di cerna.
b. Takikardi pada waktu istirahat yang merupakan gejala penyakit, seperti demam, hipotiroidisme, anemia, lemah miokard, miokarditis, dan neurosis jantung.
Dalam keadaan normal, kontraksi jantung diawali oleh rangsangan β-adrenoseptor yang menyebabkan pertukaran ion Na+ dan K+ disertai influks ion Ca2+. Depolarisasi terjadi melalui interaksi aktin dengan myosin yang menghasilkan kontraksi miokard. Jantung sebagai organ otonomik dapat berkontraksi sendiri oleh rangsangan yang masuk dari luar simpul SA, misalnya rangsangan psikis, racun, perdarahan, dan obat. Sistem saraf pada jantung dipengaruhi oleh nervus vagus (parasimpatik) dan saraf simpatik.
Aritmia atau disritmia adalah irama jantung yang tidak termasuk dalam irama sinus normal dan frekuensinya tidak normal. Irama sinus normal diatur oleh simpul SA dan kecepatannya bergantung pada faktor pengontrol otomatis. Dalam keadaan istirahat, frekuensi denyut jantung biasanya 60-80x/menit. Impuls ini segera disalurkan melalui jaringan atrium dan masuk ke dalam simpul AV.

JENIS-JENIS ARITMIA
Aritmia yang paling sering ditemukan adalah :
1. Flutter Atrium. Pada keadaan ini, kecepatan irama regular yang dikeluarkan oleh jaringan atrium adalah 220-350/menit. Fokus penyebabnya mungkin dari pacemaker atau re-entry circuit. Curah darah atrium tetap bertahan, tetapi kemudian berkurang secara bermakna dan progresif sesuai dengan meningkatnya frekuensi.
2. Fibrilasi Atrium. Dalam hal ini, terdapat irama yang cepat dan tidak teratur (frekuensi atrium 350-1000/menit atau lebih); dan frekuensi irama ventrikel bergantung pada derajat blok AV, biasanya 50-250/menit). Tidak lama kemudian, atrium berkontraksi dalam ragam yang sinkron dan darah mengalami penumpukan kemudian berkumpul di sekitar trabekula dinding atrium.
3. Blok AV. Penekanan konduksi impuls nodus AV dapat memperlambat frekuensi impuls dengan perbandingan konduksi 1:1 (derajat blok I), blok 1 atau lebih impuls atrium merambat secara intermiten sehingga rasio antara denyut atrium terhadap ventrikel menjadi 2:1, 3:2 dan seterusnya (derajat blok xII) atau blok sempurna (derajat blok III). Pada kasus terakhir pacemaker, ventricular (baik natural maupun elektris) harus ada untuk mempertahankan fungsi ventrikel.
4. Ritme hubungan antarventrikular. Iramanya cepat diatur dalam nodus AV atau dalam saraf. Hal ini sering disebabkan oleh digitalis tetapi dapat pula hilang sendiri.
5. Takikardi Supraventrikular. Iramanya cepat yang melibatkan nodus AV dan bagian jaringan trium, serta ventrikel dalam sirkuit re-entry. Berkas penghantar yang ganjil berada di antara atrium dan ventrikel.
6. Debar ventrikel premature. Irama ini terdiri atas debar sinus yang teratur dengan diselingi debar Purkinje atau dari sumber sel ventrikel. Berbagai macam mekanisme menggarisbawahi aritmia ini. Debar ventrikular prematur dapat memacu aritmia ventrikular yang lebih berbahaya. Irama bigeminus merupakan variasi antara gabungan irama sinus yang teratur dan debar ventrikular premature, biasanya dalam rasio 1:1.
7. Takikardi ventrikuler. Irama ini sering diikuti oleh suatu focus jantung atau keracunan digitalis yang berat. Hal ini disebabkan oleh fokus (baik pacemaker maupun re-entry) yang mendominasi ventrikel. Debar sinus dapat berada atau tidak ada di dalam atrium. Takikardi ventrikuler yang cepat, biasanya secara mekanik tidak efisien dan mengurangi curah jantung. Aritmia ini juga merupakan predisposisi berkembangnya fibrilasi ventrikular.
8. Fibrilasi ventrikular. Aritmia ini merupakan kelainan irama yang paling berbahaya dari semua jenis aritmia karena tidak lagi ada curah jantung. Sirkulasi harus segera diatasi dengan defibrilasi atau dengan memijit jantung dari luar dalam sekejap untuk mencegah kerusakan otak atau jantung secara permanen.
        Jadi, aritmia adalah hasil otomatisasi yang tidak normal (aktivitas pacemaker ektopik) atau konduksi yang tidak normal (blok atau re-entry). Hasil abnormalitas ini pada gilirannya, berasal dari perubahan pada saluran membran, terutama permeabilitas saluran natrium, kalsium, dan kalium.
OBAT-OBAT ANTIARITMIA
Obat antiaritmia memengaruhi aksi potensial dan konduksinya dengan beberapa cara. Secara klinis, hal ini direfleksasikan dalam denyut nadi dan tekanan darah yang sama baiknya, seperti pada EKG.
Obat antiaritmia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas menurut efek elektrofisiologiknya, penggolongan ini tidak selalu dapat dipakai dalam klinik karena tiap obat dapat menunjukkan lebih dari 1 efek elektrofisiologik.
1. Kuinidin
Farmakologi, merupakan dekstroisomer dari kuinin, absorbsinya cepat pada pemberian oral, dimetabolisasi oleh hati dan diekskresi dengan cepat oleh ginjal.
Efek Elektrofisiologik, (1) Meningkatkan konduksi nodus AV (vagolitik), dan (2) Menurunkan otomatisitas dan memperpanjang aksi potensial pada otot ventrikel, serabut Purkinje, dan otot atrium.
Indikasi Klinik, (1) Aritmia ventrikel dan ektopik ventrikel, (2) Menghilangkan flutter atau fibrilasi atrial. Sebelumnya, penderita harus diobati dulu dengan digitalis atau β-blocker untuk menghindari efek vagolitik pada nodus AV dengan mengakibatkan peningkatan respons pada ventrikel sehingga terjadi disritmia atrial, dan (3) Kontraksi prematur atrial.
Efek samping dan Toksisitas, (1) Pada EKG, tampak QT dan QRS sangat memanjang, nodus SA terhenti, blok AV tingkat tinggi, takiaritmia ventrikel, asistol, perlambatan/pemendekan nodus AV, dan dapat mengubah fibrilasi atrium menjadi fibrilasi ventrikel. (2) Hipotensi disebabkan oleh vasodilatasi perifer dan efek inotropik negatif. (3) Gejala saluran cerna berupa mual, muntah, dan diare. (4) Reaksi imunologik berupa drug fever, reaksi anafilaksis, trombositopenia. (5) Sinkonisme, dengan gejala tinnitus, pandangan kabur, gangguan saluran cerna, dan delirium. (6) Sinkop.
Interaksi Obat, (1) Barbiturat, fenitoin, primidon, dan rifampisin dapat meningkatkan metabolisme kuinidin. (2) Simetidin dapat menurunkan metabolisme kuinidin. (3) Amiodaron dapat meningkatkan efek kuinidin. (4) Kuinidin dapat meningkatkan efek digoksin, digitoksin, dan dapat menghambat neuromuscular.
2. Prokainamid
Sifat Farmakologis. Struktur kimia prokainamid mirip dengan prokain. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral.
Indikasi Klinik, hampir sama dengan kuinidin. Prokainamid atau kuinidin dapat dipakai salah satu jika yang lain tidak efektif. Prokainamid juga merupakan obat yang baik untuk disritmia ventrikular.
Efek samping dan Toksisitas, dapat berupa; (1) Bradikardi dan blok AV, tingkat blok dan bradikardia pada prokainamid tinggi, (2) Dapat terjadi perubahan fibrilasi atrial menjadi fibrilasi ventrikular, (3) Hipotensi, (4) Delirium, (5) Reaksi imunologik: drug fever, agranulositosis, sindrom mirip-lupus (terutama atralgia dan perikarditis). Berbeda dengan SLE sebenarnya, kecendrungan (predileksi) kurang pada wanita; melibatkan otak dan ginjal, leucopenia, anemia, trombositopenia. Asetilator lambat lebih mudah dipengaruhi (lebih sensitif).
3. Disopiramid
Sifat Farmakoligi, Absorbsinya baik pada pemberian oral. Senyawa induk dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. Kira-kira separuh dari obat mengalami metabolisme lintas-pertama dihati.
Indikasi klinik, Pemberian per oral berperanan penting dalam pengobatan dan pencegahan takikardia ventrikel dan kontraksi ektopik ventrikel.
Toksisitas, Obat ini memberikan efek inotropik negatif terbesar, dapat memperberat payah jantung kongestif. Sifat parasimpatolegiknya menimbulkan retensi urin, konstipasi, dan glaucoma sudut tertutup. Seperti kuinidin dan prokainamid, disopiramid obat ini dapat mengeksaserbasi disritmia ventrikel (jarang).
4. Lidokain
Sifat Farmakologi, lidokain adalah obat yang banyak digunakan sebagai obat anestesi lokal. Metabolisme terjadi di hati (mengalami de-etilasi), dan diekskresi melalui ginjal.
Indikasi klinik, lidokain merupakan terapi primer untuk disritmia ventrikel (diberikan secara i.v) dan juga digunakan untuk pencegahan disritmia ventricular pada keadaan infark miocard akut (pemberian i.v dan i.m).
Efek samping dan Toksisitas, efek samping yang menonjol pada lidokain adalah : (1) gejala SSP berupa mengantuk, disorientasi, kejang, dan psikosis (terutama pada pasien lanjut usia dan penderita payah jantung kronis); dan (2) Hipotensi.
Interaksi obat, Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas lidokain.
5. Fenitoin
Sifat Farmakologis, Fenitoin merupakan derivat hidantoin. Obat ini diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Fenitoin dalam darah terikat dengan protein sebesar 90%. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk metabolit terkonjugasi.
6. Bretelium
Farmakokinetik, metabolismenya tidak jelas, dan ekskresi melalui ginjal.
Indikasi klinik, aritmia ventrikularnya di unit perawatan intensif (ICU) atau keadaan henti jantung.
Toksisitas, dapat berupa: (1) Hipotensi (akibat blockade cabang aferen refleks baroreseptor), (2) mual dan muntah, (3) vertigo dan pusing, dan (4) hipertensi dengan golongan simpatomimetik.
7. β-Blocker
Farmakokinetik, β-blocker memiliki ikatan protein yang tinggi, dimetabolisasi di hati dan diekskresikan dalam urine.
Indikasi klinik, β-blocker digunakan untuk: (1) Takiaritmia supraventrikular paroksimal, (2) Infark pascamiocard, untuk menurunkan resiko re-infark dan kematian mendadak, dan (3) Pada keadaan tertentu dari miokard infark akut.
Toksisitas, toksisitas yang berhubungan dengan blokade beta pada daerah nonvascular, berupa bronkospasme; eksaserbasi penyakit hipoglikemia; terselubungnya respons simpatik terhadap hipoglikemia;efek inotropik negatif, eksaserbasi dan presipitasi payah jantung kongestif; dan blokade jantung. Toksisitas pada SSP berupa halusinasi, mimpi buruk, dan depresi.
8. Verapamil dan Inhibitor Kanal Kalsium Lainnya
Sifat Farmakologis, (1) Obat ini dapat diabsorbsi secara sempurna pada pemberian per oral, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama substansia oleh hati dan lebih dari 70% diekskresikan melalui ginjal.
Indikasi klinik, Obat ini akan mengakibatkan takikardia supraventrikular paroksimal (termasuk sindrom Wolf-Parkinson-White) dan fibrilasi atrial.
Toksisitas, efeknya dapat berupa hipotensi, asistolik, dan blok AV.
9. Amiodaron
Sifat Farmakologis, pada pemberian amiodaron secara i.v atau per oral, dibutuhkan waktu 2-4 minggu untuk mencapai keadaan yang mantap. Metabolismenya terjadi di hati, dan waktu paruhnya berkisar antara 10-50 hari.
Indikasi klinik, disritmia atrial dan ventricular yang resisten terhadap obat.
Toksisitas, amiodaron dapat menimbulkan efek samping mikrodeposit pada kornea; hiper-dan hipotiroidisme; hepatotoksik; alveolitis dan/atau fibrosis paru; meningkatnya kadar digitalis dan aktivitas obat golongan warfarin, menurunnya fungsi ventrikel kiri; fotosensitivitas; deposit pada kulit sehingga berwarna kebiruan.
10. Obat-obat baru (oral)
a. Meksiletin dan Tokainid
Obat-obat ini adalah analog lidokain, dan diberikan per oral dengan efek dan indikasi yang sama dengan lidokain, tetapi tidak seefektif lidokain untuk pencegahan fibrilasi/takiaritmia ventrikular rekuren. Meksiletin digunakan untuk pengobatan jangka panjang aritmia ventrikular yang disebabkan oleh infark miocard sebelumnya. Tokainid digunakan untuk pengobatan takiaritmia ventrikular. Tokainid mempunyai toksisitas paru yang dapat menyebabkan fibrosis paru.
b. Flekainid
Obat ini berdisosiasi secara lambat dari kanal natrium istirahat dan menunjukkan efek yang jelas, walaupun dengan kecepatan denyut jantung normal. Efeknya mirip kuinidin dan prokainamid. Obat ini digunakan untuk kontraksi ventrikular premature dan takikardi ventrikel.
Efek Farmakologik, flekainid menekan upstroke fase 0 dari serabut purkinje dan miocard. Hal ini menyebabkan konduksi yang sangat lambat pada semua jaringan jantung, dengan efek minor pada lama potensial aksi dan refrakter. Otomatisasi berkurang dengan peningkatan nilai ambang potensial, dan bukan menurunkan slope depolarisasi fase 4.
Penggunaan klinik, bermanfaat untuk pengobatan aritmia ventrikular refrakter, terutama berguna untuk menekan kontraksi ventrikular prematur. Flekainid mempunyai efek inotropik negatif pada jantung dan dapat memperberat gagal jantung bendungan.
Efek samping, dapat berupa pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, dan mual. Flekainid dapat memperberat aritmia yang sudah ada, yang akan timbul atau menimbulkan takikardi ventrikular yang berbahaya, dan yang resisten terhadap pengobatan.
c. Propafenon
Seperti halnya dengan Flekainid, propafenon memperlambat konduksi dalam seluruh jaringan otot jantung, dan dianggap sebagai obat antiaritmia berspektrum luas.

III. OBAT ANTIANGINA

PENDAHULUAN
Angina pectoris adalah gejala utama penyakit jantung iskemik, berupa rasa nyeri hebat di dalam dada (retrosternal) yang menjalar ke lengan kiri, leher, atau rahang; dicetuskan oleh kerja fisik, ketegangan mental, hawa dingin, atau pada waktu makan. Nyeri angina dapat terjadi bila aliran darah koroner tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jantung. Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan obat yang memperbaiki perfusi darah ke miocard atau yang mengurangi kebutuhan metabolik jantung atau obat yang bekerja dengan kedua cara ini. Gejala angina pectoris timbul ketika suatu ketidakseimbangan akut antara kebutuhan oksigen miokard dan jumlah oksigen yang ada untuk keperluan tersebut terjadi. Hal ini terjadi ketika terdapat peningkatan kebutuhan oksigen yang tiba-tiba pada suatu jantung iskemik yang kronis, atau ketika terdapat spasme dari suatu arteri koroner (disebut varian=atipikal=angina Prinzmetal). Selain itu, terdapat juga angina tak stabil yang biasanya disebabkan oleh ruptur suatu plak ateromatous dalam suatu arteri koroner yang selanjutnya bisa berkembang menjadi serangan infark miocard.
Obat-obat yang digunakan pada pengobatan angina antara lain, Vasodilatator koroner (terdiri dari Nitrat Organik dan Antagonis Kalsium) dan β-Blockers yang berfungsi mengurangi kebutuhan oksigen miocard.
OBAT-OBAT ANGINA PECTORIS
A. Vasodilator Koroner
Zat-zat ini memperlebar arteri jantung, memperlancar pemasukan darah serta oksigen, dan dengan demikian meringankan beban jantung. Pada serangan akut, obat pilihan utama adalah nitrogliserin sublingual dengan kerja pesat tetapi singkat. Sebagai terapi interval guna mengurangi frekuensi serangan tersedia nitrat long acting (isosorbide-nitrat), Antagonis Calcium (Diltiazem, Verapamil), dan Dipiridamol.
1. Nitrogliserin
Farmakologi, trinitrat dari gliserol berkhasiat relaksasi otot pembuluh, bronchia, saluran empedu, lambung usus, dan kemih. Berkhasiat vasodilatasi berdasarkan terbentuknya nitrogenoksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO bekerja mengendurkan sel-sel ototnya, sehingga pembuluh terutama vena mendilatasi dengan langsung. Akibatnya, tekanan darah turun dengan pesan dan aliran darah vena yang kembali ke jantung berkurang. Penggunaan oksigen jantung menurun dan bebannya dikurangi. Arteri koroner juga diperlebar, tetapi tanpa efek langsung terhadap miocard.
Penggunaan, per oral untuk menanggulangi serangan angina akut secara efektif, begitupula sebagai profilaksis jangka pendek, misalnya langsung sebelum melakukan aktivitas bertenaga (exertion) atau menghadapi situasi lain yang dapat menginduksi serangan. Secara intravena digunakan pada dekompensasi tertentu setelah infark jantung, jika digoksin dan diuretika kurang meberikan hasil.
Efek samping, yang terpenting berupa nyeri kepala dan refleks takikardia, juga hipotensi ortostatis, pusing, nausea, ‘flushing’, disusul dengan muka pucat. Bila efek terakhir timbul, maka pasien harus mengeluarkan sisa tablet dari mulut dan segera berbaring. Plester dapat menimbulkan iritasi kulit (merah) dengan rasa terbakar dan gatal-gatal.
2. Isosorbida-5-mononitrat
Farmakologis, Derivat nitrat siklis sama kerjanya dengan nitrogliserin, tetapi bersifat long-acting. Di dinding pembuluh zat ini diubah menjadi nitrogenoksida (NO), yang mengaktivasi enzim tertentu. Karena itu, kadar cGMP (cyclo Guanyl-Mono-Phosphate) di sel otot polos naik dengan akibat vasodilatasi.
Penggunaan, Isosorbida-5-mononitrat terutama digunakan oral sebagai profilaksis untuk mengurangi frekuensi serangan, juga secara oromukosal (tablet retard). Adakalanya juga oral pada dekompensasi yang dengan obat-obat lazim kurang berhasil.

3. Isosorbida-dinitrat
Farmakologi, Isosorbida-dinitrat adalah derivate dengan khasiat dan penggunaan sama. Secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral masing-masing 20 menit dan 4 jam (tablet retard 8-10 jam).

4. Dipiridamol

Farmakologi, sebagai penghambat fosfodiesterase, derivat dipiperidino ini berdaya inotrop positif lemah tanpa menikkan penggunaan oksigen dan vasodilatasi, juga terhadap arteri jantung. Penggunaannya pada angina kini dianggap obsolet, karena kurang efektif. Begitu pula sebagai obat pencegah infark kedua (bersama asetosal), berdasarkan kerja antitrombotiknya. Khusus digunakan sebagai obat tambahan antikoagulansia pada bedah penggantian katup jantung untuk mencegah penyumbatan karena penggumpalan darah (tromboemboli).
Efek samping, gangguan lambung usus, nyeri kepala, pusing, dan palpitasi yang bersifat sementara.

B. β-Blockers
Farmakologi, β-blockers memperlambat pukulan jantung (bradycardia, efek kronotrop negatif), sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miocard. Juga digunakan pada terapi interval. Zat-zat ini mengikat diri secara reversibel pada reseptor β-adrenoreseptor dan dengan demikian memblok reaksi atas impuls saraf simpatik atau katekolamin (nor/adrenalin, serotonin, dan sebagainya) dari sirkulasi.
Blokade reseptor β1 menurunkan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif), daya kontraksi (efek inotrop negatif), dan volume-menit jantung. Kecepatan penyaluran AV diperlambat dan tekanan darah diturunkan.
Blokade reseptor β2 dapat antara lain menimbulkan bronchokonstriksi dan meniadakan efek vasodilatasi dari katekolamin terhadap pembuluh perifer.
Penggunaan, selain pada pada hipertensi juga pada :
a. Angina Stabil Kronis, berdasarkan efek kronotrop negatifnya yang menyebabkan dikuranginya kebutuhan oksigen jantung exertion, hawa dingin, dan emosi. Secara sekunder juga penyaluran darah melalui pembuluh koroner berkurang. Pada angina variant, kerjanya tak konstan, yaitu dapat positif dan negatif, maka umumnya lebih disukai antagonis kalsium.
b. Gangguaan Ritme, antara lain fibrilasi dan flutter serambi, juga takikardia supraventrikuler. Terutama sebagai obat tambahan, bila glikosida jantung tunggal kurang menghasilkan efek.

C. Antagonis Ca2+
Calcium entry-blockers mengurangi penggunaan oksigen selama exertion, karena tekanan darah arteri umumnya turun akibat vasodilatasi perifer dan turunnya frekuensi jantung (efek kronotrop negatif). Selain itu, pemasukan darah diperbesar karena vasodilatasi miocard, efek inotrop negatifnya hanya ringan atau hilang sama sekali.
1. Nifedipin
Farmakologi, Dihidropiridin terutama berkhasiat vasodilatasi kuat dengan hanya kerja ringan terhadap jantung. Efek inotrop negatifnya ditiadakan oleh vasodilatasi, bahkan frekuensi jantung serta cardiac output justru dinaikkan sedikit akibat antara lain turunnya afterload (volume darah yang dipompa keluar jantung ke arteri)
2. Verapamil
Farmakologi, Rumus kimia senyawa amin ini mirip papaverin. Khasiat vasodilatasinya tidak sekuat nifedipin dan derivatnya, tetapi efek inotrop negatifnya lebih besar. Bekerja kronotrop ringan dan memperlambat penyaluran impuls AV.
Penggunaan, digunakan pada angina variant/stabil, hipertensi dan aritmia tertentu (antara lain takikardia supraventrikuler, fibrilasi serambi)
3. Diltiazem
Farmakologi, derivat benzothiazin ini berkhasiat vasodilatasi lebih kuat dar verapamil, tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan.
Penggunaan, sama dengan verapamil pada angina variant/stabil, hipertensi, dan aritmia tertentu.

IV. OBAT ANTIHIPERTENSI

PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg pada saat istirahat, kecuali pada isolated systolic hypertension, dengan adanya peningkatan tekanan sistolik tanpa disertai peningkatan tekanan diastolik. Ada hipertensi yang tidak diketahui sebabnya (hipertensi esensial) atau hipertensi sekunder dengan sebab yang jelas, misalnya penyakit ginjal, penyakit renovaskuler, berbagai penyakit endokrin, coarcttion of the orta, dan obat-obatan.
Hipertensi biasanya asimptomatik (tidak ada gejala). Tetapi hipertensi kronis menyebabkan komplikasi tertentu (gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan iskemia miocard). Walaupun sulit untuk memberikan definisi yang persis mengenai derajat keparahan hipertensi, patokan kerja yang dapat digunakan, antara lain :
1. Hipertensi ringan (135/85-140/90 mmHg).
2. Hipertensi sedang (140/90-160/100 mmHg).
3. Hipertensi berat (> 160/100 mmHg).
4. Hipertensi Emergensi (tekanan diastolik > 120 mmHg, atau jika ada ensefalopati dengan tekanan darah berapa pun).
Terapi hipertensi umumnya merupakan terapi obat seumur hidup, dan karena itu harus hati-hati memastikan bahwa diagnosis adalah benar.
MEKANISME KERJA OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
Walaupun semua obat antihipertensi yang dibicarakan di sini menurunkan tekanan darah, sampai sejauh ini hanya diuretik dan β-blockers yang telah terbukti mencegah komplikasi jangka panjang hipertensi. Semua obat-obat antihipertensi lainnya digunakan dengan anggapan bahwa penurunan tekanan darah merupakan kunci dalam mencegah komplikasi-komplikasi tersebut.
1. Diuretik,

mekanisme kerja diuretik thiazide dalam hipertensi belum jelas dan tidak dapat dihubungkan hanya dengan efeknya pada keseimbangan garam dan air. Diuretik yang lebih efektif, seperti furosemid, bukan merupakan obat antihipertensi yang lebih efektif. Walaupun volume cairan intravaskular dan jumlah Na+ total dalam tubuh berkurang selama minggu pertama terapi dengan diuretik, peningkatan renin sirkulasi terjadi, dan dalam beberapa minggu volume intravaskular dan jumlah Na+ tubuh kembali normal, namun efek antihipertensi menetap. Kemungkinan bahwa diuretik bekerja dengan suatu efek langsung pada otot polos vaskular yang menyebabkan vasodilatasi. Efek tersebut dapat dihasilkan melalui suatu pengurangan Na+ pada dinding pembuluh darah (mengubah Ca2+ dinamik) atau melalui suatu kerja pada kanal K+. Diazoksid, suatu senyawa mirip thiazide menyebabkan retensi Na+, merupakan suatu antihipertensi kuat, yang bekerja dengan membuka kanal K+ sehingga menyebabkan vasodilatasi perifer.
2. β-Blockers (antagonis β-adrenoseptor).

Mekanisme kerja β-blockers tidak dimengerti dengan jelas. Yang sekarang diketahui adalah obat ini menyebabkan penurunan curah jantung, dengan refleks baroreseptor tidak mengompensasi secara penuh, dan kemudian reseptor barorefleks ini diatur kembali, dan dengan demikian resitensi perifer turun. Namun, semuanya ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja β-blockers ini belum jelas. Hipotesis lainnya adalah obat β-blockers memiliki efek sentral, yang mengubah tonus simpatis (ini tidak cocok karena obat-obat β-blockers yang kurang menembus otak, misalnya atenolol adalah obat antihipertensi yang sama baiknya), atau mereka menghambat pelepasan renin dari ginjal.
3. Inhibitors ACE.

Inhibitors ACE menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II. Senyawa ini juga menghambat inaktivasi bradikinin. Hambatan terhdap ACE tidak hanya terjadi dalam plasma tetapi juga didalam endothelium vaskular, menghasilkan vasodilatasi, penurunan resistensi perifer, dan penurunan tekanan darah. Terdapat bukti bahwa inhibitor ACE memperbaiki arteriol medial hypertrophy yang terjadi pada hipertensi dan mengurangi hipertrofi jantung. Inhibitor ACE juga mengurangi produksi aldosterone dan retensi Na+, dan ini juga dapat berperan dalam efek antihipertensinya.
4. Vasodilator.

Beberapa obat antihipertensi merupakan vasodilator langsung pada arterioli. Bloker kanal kalsium (Ca-antagonis) mengurangi masuknya Ca2+ kedalam sel melalui potential-operated Ca-chanels. Natrium Nitroprusid meniru kerja EDRF (nitrogen monoksida) pada otot polos vaskular. Mekanisme kerja vasodilator lainnya, seperti minoksidil, hidralazin, dan diazoksid yang bekerja langsung pada arteriol, tidak diketahui, tetapi beberapa diantaranya mungkin bekerja dengan cara stimulasi K+-effluks dari sel-sel melalui kanal K+. Hidralazin dan Ca antagonis menyebabkan suatu refleks takikardia, yang dapat diatasi (dan efek antihipertensinya bertambah) dengan pemberian bersama suatu β-blocker. Jika suatu vasodilator menyebabkan retensi garam dan air, suatu diuretik dapat ditambahkan.

5. α-Blocker (antagonis α-adreseptor)

obat tertentu memiliki kerja vasodilatasi langsung pada otot polos vaskular dengan efek hambatan pada α-adenoseptor, khususnya α1-adrenoseptor pascasinaptik. Contoh obat-obat ini antara lain prazosin, doksazosin, terazosin, dan indoramin. Labetalol memiliki efek gabungan α-bloker dan β-bloker yang nonspesifik.
6. Antagonis reseptor angiotensin II.

Obat-obat golongan ini antara lain losartan, valsartan, irbesartan, dan kandesartan; menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya. Karena inhibitor ACE menghambat hanya sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, blokade reseptor merupakan suatu cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja Angiotensin II.

7. Obat-obat yang memengaruhi kontrol saraf terhadap tekanan darah.

Obat-obat ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda. Obat yang merupakan agonis α-adrenoseptor bekerja dengan menstimulasi α-adrenoseptor pada batang otak dan menyebabkan pengurangan fungsi sistem saraf simpatik perifer. Klonidin adalah suatu agonis langsung pada α-adrenoseptor prasinaptik. α-Metildopa diperkirakan bekerja dengan cara dikonversi didalam neuron-neuron noradrenergic menjadi α-metilnoradrenalin, yang merupakan suatu agonis alfa yang kuat. Reserpin menyebabkan pengosongan simpanan katekolamin saraf, baik yang di saraf pusat maupun yang di perifer. Bloker neuron adrenergi, yang meliputi betanidin, debrisokuin, dan guanetidin, menghambat pelepasan noradrenalin dari ujung-ujung saraf simpatik perifer. Selain penggunaan metildopa pada kehamilan, obat-obat tersebut telah digantikan oleh obat lainnya dalam pengobatan hipertensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Farmakoterapi GAGAL GINJAL AKUT

— Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsiny...